Sejarah Gerakan Mahasiswa dan
perkembangannya sebenarnya telah lama ada sejak zaman kolonialisasi, pergerakan
yang selalu dimotori oleh kaum muda dan terdidik ini tidak banyak berbeda
dengan gerakan mahasiswa di belahan dunia lainnya. Semangat pemuda dan kaum
terdidik ini selalu meledak-ledak yang selalu menuntut perubahan ke arah yang
lebih baik. Lahir dari kondisi obyektif, gerakan mahasiswa selalu sesuai dengan
konteks zamannya. Munculnya tradisi diskusi dan kelompok-kelompok (club)
diskusi ternyata membawa mereka pada tindakan yang lebih kongkret. Kondisi
obyektif masyarakat telah membawa dampak pada terbentuknya club diskusi,
organisasi, perkumpulan dan kesatuan-kesatuan yang selanjutnya mewadahi gagasan
revolusioner mereka. Nilai lebih organisasi dalam gerakan mahasiswa hanyalah
bermakna bahwa di dalam organisasi, mahasiswa ditempa dan dipenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
1. Pemahaman terhadap masyarakat dan
persoalan-persoalannya.
2. Pemihakan pada rakyat.
3. Kecakapan-kecakapan dalam mengolah massa.
Ketiga syarat tersebut mencerminkan:
1. Tujuan dan orientasi gerakan mahasiswa.
2. Metodologi gerakan mahasiswa.
3. Strukturalisasi sumber daya manusia, logistik
dan keuangan gerakan mahasiswa, dan
4. Program-program gerakan mahasiswa yang
bermakna strategis-taktis.
Dari penjelasan di atas bahwa nilai lebih
organisasi dalam gerakan mahasiswa tentunya sangat berbeda dengan organisasi
lainnya, karena selain dituntut untuk paham dan mengerti pesoalan-persoalan rakyat.
GM (Gerakan Mahasiswa) juga secara tidak langsung mendapat penempaan kecakapan
dalam mengolah dan mengorganisir massa.
Perkembangan Gerakan Kaum Terpelajar Era
Kolonialisasi.
Tidak ada yang tahu persis kapan tonggak sejarah
GM di Indonesia lahir. Namun kaum-kaum terpelajar di STOVIA pada tahun 1915
telah memulai gerakan-gerakan mereka dengan mendirikan TRIKORO-DARMO, yang
selanjutnya di ikuti dengan berdirinya organisasi-organisasi kedaerahan seperti
jong java, Jong Sumatera, Jong Celebes, Jong Minahasa, dsb. Konsolidasi baru
tercipta ditahun 1930 dengan berdirinya IM (Indonesia Moeda). Gerakan-gerakan
kaum terpelajar ini bukanlah tanpa halangan dan mengalami masa-masa sulit.
Karena mereka harus face to face dengan rejim kolonial Belanda yang merepresif,
belum lagi dengan situasi yang terjadi pada waktu itu ketika zaman pergerakan
mengalami kelumpuhan setelah pemberontakan PKI tahun 1926/27 serta
pemogokan-pemogokan kaum buruh. Namun lumpuhnya kondisi itu semakin menguatkan
orientasi mereka untuk anti-kolonial, yang termanifestasi dengan berdirinya
studie-studie club alternatif serta perkumpulan pelajar dan pemuda kedaerahan
yang masih tersisa sampai pada sumpah pemuda tahun 1928.
Pada masa pendudukan Jepang, banyak
organisasi-organisasi pemuda yang dibubarkan dan pemuda-pemudanya dipaksa untuk
memasuki organisasi bentukan Jepang yang tak lain untuk kepentingan Jepang
dalam perang Asia pasifik. Pemuda-pemuda itu dimasukan dalam organisasi seperti
Seinen dan Keibodan (Barisan Pelopor), PETA (Pembela Tanah Air), HEIHO, Putera
(Pusat Tenaga Rakyat) dll, tentunya mereka mendapatkan didikan untuk
kepentingan fasisme Jepang. Namun dalam masa pendudukan Jepang ini bukan
berarti gerakan pemuda hilang sama sekali. Munculnya Gerakan Bawah Tanah (GBT)
ternyata banyak juga dilakukan oleh pemuda-pemuda dengan mengadakan rapat-rapat
gelap dan aksi penyebaran-penyebaran pamflet berisikan sikap mereka yang anti
terhadap fasisme Jepang. Yang menarik disini, gerakan bawah tanah juga
dikombinasikan dengan gerakan kooperatif golongan Soekarno.
Gerakan Bawah Tanah dan gerakan legal kooperatif
Soekarno pada akhirnya tidak banyak membuahkan hasil sampai kekalahan Jepang
pada sekutu. Pertentangan dan konflik yang telah lama antara kaum bawah tanah
yang banyak diwakili pemuda dan golongan tua Soekarno memuncak ketika terjadi
peristiwa penculikan yang mendesak agar Soekarno segera memproklamirkan
kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Peranan dalam Menumbangkan Rejim Soekarno
Ada yang bilang bahwa gerakan mahasiswa lahir karena
momentum. Dimasa demokrasi liberal atau orde lama dibawah kepemimpinan Soekarno
mahasiswa sebenarnya kurang memberi pendidikan politik yang berarti bagi
mahasiswa setelah masa transisi pada momentum pra dan pasca kemerdekaan. Pada
masa itu pemuda dan lassar-laskar pelajar banyak berperan penting dalam
perlawanan menghadapi sekutu dan pelucutan senjata tentara Jepang. Dalam
demokrasi liberal mahasiswa mempunyai momentum yaitu pemilu ditahun 1955,
banyak berdiri organisasi-organisasi mahasiswa yang berafiliasi ke partai
politik, seperti Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang berafilsi
dibawah PNI, Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (GMS/GERMASOS) dengan PSI,
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan Masyumi, Concentrasi Gerakan Mahasiawa
Indonesia (CGMI) dengan PKI.
Keterlibatan organisasi kemahasiswaan praktis
terseret dalam politik praktis yang banyak mempunyai hubungan-hubungan khusus
dengan administrator pemerintah khususnya pihak militer, jadi tidaklah heran
jika kolaborasi mereka sangat dekat. Puncaknya adalah ketika aksi-aksi
mahasiswa menentang dan menumbangkan rejim Soekarno.
Dalam masa ini orientasi gerakan mahasiswa sudah
mulai membaik dalam mengugat hubungan sosial kapitalisme, fasisme,
imperialisme, dan sisa-sisa feodalisme dikalahkah oleh kesiapan militer (yang
masuk dalam gerakan pemuda mahasiswa dan partai-partai sayap kanan). Jadi
Gerakan Mahasiswa periode 66 dapat dikatakan Gerakan Mahasiswa yang tidak
sepenuhnya berpihak pada rakyat.
Munculnya Orde Baru
Kolaborasi dengan militer (Angkatan Darat) dalam
menggulingkan orde lama dengan harapan orde baru dapat memperbaiki keadaan
ternyata salah besar dan sebelum tahun 1970, beberapa aktivis yang sadar akan
kekeliruan ini antara lain Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib karena terpisah dari
kekuatan rakyat tapi lebih tergabung dalam kekuatan-kekuatan militer pada waktu
itu. Terang saja orde baru, di bawah kepemimpinan jenderal Soeharto yang
militeristik itu mengeluarkan UU pertama yaitu UU PMA yang notabene menjadi pintu
masuk pemodal asing dan saat itu juga Indonesia resmi menjadi Negara yang
bermahzab liberalisme/kapitalisme, yang di bawah Soeharto disamarkan dengan
kata pembangunanisme (developmentalism).
Namun kesadaran dari para aktivis-aktivis itu
ternyata masih belum bisa menjadi pelajaran dan bertindak sesuai dengan apa
yang diharapkan oleh mereka. Gerakan dan aksi-aksi mereka cenderung lebih
reaksioner dan selalu mengalami kegagalan, yang disatu sisi orde baru telah
menjadi kekuatan yang represif dalam menindak aksi-aksi mahasiswa. Jadi pada
periode 74-78 dapat dikatakan Gerakan Mahasiswa mengalami kegagalan karena
gerakan tersebut kurang berinteraksi dengan massa rakyat dan terkesan
reaksioner.
Pasca peristiwa Malari (Malapetaka Januari),
orde baru yang sadar akan potensi mahasiswa dengan gerakannya ditahun 1974
langsung mengeluarkan UU NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi
Kampus) melalui Menteri Pendidikan waktu itu Moch Daud Jususf. Praktis
gerakan-gerakan mahasiswa dan segala aktivitas mendapat pengawasan dan kekangan
yang luar biasa dari pemerintah yang tak segan-segan menangkap dan merepresif
mereka.
Aksi-aksi bawah tanah dan keluar dari kampus mau
tidak mau harus mereka lakukan dengan meninggalkan bangku-bangku kuliah mereka
untuk menghindari represifitas aparat yang semakin menjadi-jadi.
Tahun 1980an menjadi titik balik kebangkitan
gerakan mahasiswa dalam menggalang lagi budaya diskusi dan kritis menyikapi
kebijakan pemerintah yang terkadang sewenang-wenang dan tidak ada yang berani
mengkritisi karena tekanan militer yang siap menggasak siapapun yang dianggap
mengganggu stabilitas pembangunan. Tawaran belajar ke luar negeri beberapa
tokoh-tokoh mahasiswa karena alasan untuk menyiapkan teknokrat-teknokrat yang
diharapkan menjadi pendukung paham pembangunan orde baru ternyata membawa
dampak yang sebaliknya menyuburkan budaya diskusi, penelitian masyarakat dan
aksi-aksi sosial kedermawanan bagi orde baru itu.
Puncaknya adalah aksi turun ke jalan
besar-besaran di Ujung Pandang dengan aksi jalan (long march) dan massa yang
lumayan besar menentang kebijakan-kebijakan peraturan lalu lintas, judi, dan
ekspresi kesulitan ekonomi. Aksi dapat dihentikan dengan membawa korban jiwa
hasil dari represitas aparat. Meski dapat dihentikan, Ujung Pandang secara
tidak langsung telah memberikan semacam trend baru dengan aksi2 turun ke jalan
sebaga bentuk protes mereka walaupun mereka harus berhadapan langsung dengan
aparat.
Alhasil dalam kurun tahun 1987 sampai akhir
tahun 1997/98, banyak aktivis yang terbunuh dan hilang diculik sampai sekarang.
Momentum krisis ekonomi yang melanda Asia
Tenggara, dan pembayaran hutang luar negeri yang jatuh tempo telah membuat
perekonomian Indonesia berguncang yang mengakibatkan kondisi tidak stabil.
Momentum inilah kemudian menjadikan kontradiksi di rakyat yang secara langsung
mengalami kesulitan-kesulitan. Sedangkan gerakan-gerakan mahasiswa yang
sebelumnya sudah tergabung dengan kekuatan rakyat semakin hari hari semakin
berani dengan aksi-aksi mereka meski terkadang jatuh korban jiwa akibat
represifitas penembakan-penembakan yang dilakukan aparat.geliat mahasiswa juga
sedang bangkit-bangkitnya hampir di setiap pojok kampus mahasiswa pasti
membicarakan keadaan Indonesia, kondisi yang dahulu apatis dan apolitis menjadi
berubah secara frontal.
Puncaknya adalah ketika terjadi peristiwa
Trisakti yang mengakibatkan tiga mahasiswanya tewas akibat terjangan peluru
aparat. Peristiwa itu menimbulkan reaksi yang luar biasa dari rakyat dan
berujung dengan kerusuhan di beberapa kota khusunya di Jakarta yang berakhir
dengan penjarahan, pembakaran dan pemerkaosan di kota-kota besar. Semakin
menemukan titik ternag bahwa Soeharto sebagai public enemy membuat
gerakan-gerakan mahasiswa yang sudah terlanjur bergabung dengan potensi-potensi
rakyat tak terbendung dan pada tanggal 21 Mei Soeharto tak kuasa untuk bertahan
dan akhirnya mundur, yang disambut dengan gegap gempita rakyat dan mahasiswa di
seluruh negeri.
Gerakan Mahasiswa Sekarang
Sudah menjadi watak alami dari borjuasi di
Indonesia yang pengecut dan selalu menghambakan diri kepada kekuatan modal
asing. Hal ini tercermin lewat kebijakan Mega-Hamzah di lanjutkan oleh SBY - JK
yang sejak awal menitikberatkan pada pembangunan situasi yang kondusif di dalam
negeri untuk menarik investor asing masuk ke Indonesia. Solusi kebijakan ini
ternyata pada perkembangannya hanya menambah hutang-hutang baru yang
dilimpahkan ke rakyat dan yang terjadi malah krisis berkepanjangan. Salah satu
kebijakan dari rejim Mega-Hamzah yang dinilai tidak berpihak pada kepentingan
rakyat adalah pencabutan subsidi sehingga menibulkan efek domino yang memicu
tingkat kenaikan harga bahan pokok. Selain itu di sektor industri terjadi
“pengefesiensian” akibat melambungnya harga BBM, konsekuensinya terjadi
rasionalisasi besar-besaran terhadap buruh pabrik. Akibat dari itu adalah
meningkatnya jumlah pengangguran dimana-mana hingga nominal 37 Juta. Belum lagi
kebijakan fiskal ekspor dan impor yang memicu tingkat inflasi dan menurunnya
pertumbuhan ekonomi hingga 3%. Kebijakan Mega-Hamzah yang paling fatal adalah
memberikan konsesi yang begitu besar terhadap pihak militer dengan memberikan
kedudukan sentral terhadap para pejabat militer yang bertanggungjawab pada
kasus-kasus pelanggaran HAM dan demokrasi. Hal inilah yang menjawab mengapa
terjadi represifitas yang begitu besar terhadap gerakan saat ini oleh aparat.
Melihat hal ini justru gerakan mahasiswa
mengalami kemunduran dan menjadi terpisah dengan basis massa rakyat lainnya.
Gerakan mahasiswa malah sibuk dengan isu-isu yang elitis dan cenderung tidak
fokus. Hanya beberapa saja dari organ gerakan ekstra kampus yang masih mampu
mengkonsolidasikan diri dan terus menerus secara konsisten melakukan tuntutan
terhadap rejim. Namun yang terjadi sekali lagi adalah pengulangan sejarah, rejim
Mega-Hamzah yang awalnya diharapkan mampu bertindak lebih demokratis dan
populis ternyata malah mempraktekkan kebijakan yang sama dengan jaman Orde Baru
berkuasa. Terjadi pemberangusan terhadap nilai-nilai demokrasi di gerakan lewat
penangkapan aktivis-aktivis demokrasi, terjadi pengilusian terhadap gerakan
mahasiswa oleh rejim dengan mengkampanyekan gerakan mahasiswa sebagai gerakan
moral semata. Artinya gerakan mahasiswa cukup mengkritisi saja problema yang
ada bukannya menjadi kelas transisional terhadap kelas yang lain untuk
memberikan transformasi kesadaran ke hal yang lebih progresif dan menjelaskan
kepada massa akan perlunya rakyat mengambil alih pemerintahan sebagaimana
selalu dikampanyekan oleh organ-organ pro demokrasi
Keberhasilan rejim SBY-Boediono merebut kembali
setelah kemenangan pada 2004 menjadikan gerakan mahasiswa bahwa SBY sebagai
public enemy rakyat dan mahasiswa. Kebijakan serta cara-cara militeristik gaya
orde baru ternyata dihidupkan lagi, serta paham neoliberalisme yang kental terkesan
kuat oleh rejim ini. Tidak salah jika SBY mendapat predikat sebagai kebangkitan
ode baru jilid II. Namun tipu muslihat dengan pergeseran tata cara berpolitik
rupanya (politik pencitraan) banyak menjebak rakyat terhadap kesan SBY.
Sehingga dengan mudah SBY selalu mampu lolos dari pengamatan rakyat.
Kondisi ini ditambah dengan semakin apolitis dan
apatisnya mahasiswa terhadap persoalan-persoalan nasional, sedangkan satu sisi
banyak aktivis yang sudah jinak dan lebih suka merapat ke lingakaran rejim SBY.
Membuat perjuangan semakin berat.
Gerakan mahasiswa menjadi gagap dalam merespon
keadaan krisis ini berbeda dengan sektor massa yang lain; Buruh, Tani, Kaum
Miskin Kota yang tanpa dukungan dari mahasiswa-pun ternyata mampu melakukan
aksi dalam skala besar. Disinilah peran pelopor gerakan mahasiswa untuk
menyatukan kekuatan-kekuatan tersebut menjadi hal yang urgen.
Rakyat yang sedang resah membutuhkan sebuah
kepeloporan dalam hal kesadaran disini. Memajukan kesadaran ekonomis massa
hingga menuju tataran politis adalah konkretan kepeloporan yang dimaksud.
Sejarah gerakan mahasiswa
Sejenak teringat waktu menjalani study sebagai
mahasiswa di salah satu Universitas swasta di Surabaya angkatan tahun 2001,
momentum-momentum penting tidak luput dari analisis kita, tidak luput dari
peranan kawan-kawan waktu itu, dulu teman-teman aktivis gerakan seangkatanku
ketika diskusi selalu melontarkan kalimat ‘kita adalah agen perubahan, kita
yang selalu membela rakyat kecil yang tertindas’. Hali ini tidak luput dari
peranan perjuangan dan kesejarahan kawan-kawan gerakan semenjak negeri ini
belum merdeka. Kita akan melihat kembali kesejarahan dari generasi ke generasi
gerakan mahasiswa di Indonesia.
Memang keberadaan mahasiswa di tanah air,
terutama sejak awal abad ke dua puluh, dilihat tidak saja dari segi eksistensi
mereka sebagai sebuah kelas sosial terpelajar yang akan mengisi peran-peran
strategis dalam masyarakat. Tetapi, lebih dari itu mereka telah terlibat aktif
dalam gerakan perubahan jauh sebelum Indonesia merdeka. Sebagai anak bangsa
yang secara sosial mendapat kesempatan lebih dibandingkan dengan saudaranya
yang lain, mahasiswa kemudian menjadi penggerak utama dalam banyak dimensi
perubahan sosial politik di tanah air pada masanya. Aktivitas mahasiswa yang
merambah wilayah yang lebih luas dari sekedar belajar di perguruan tinggi
inilah yang kemudian populer dengan sebutan “gerakan mahasiswa”.
Dengan demikian, gerakan mahasiswa merupakan
sebuah proses perluasan peran mahasiswa dalam kehidupan bermasyarakat. Adanya
gerakan mahasiswa dengan perannya yang signifikan dalam perubahan secara
langsung akan membongkar mitos lama di masyarakat, bahwa mahasiswa selama ini
dianggap sebagai bagian dari civitas akademika yang berada di menara gading,
jauh dari persoalan yang dihadapi masyarakatnya. Disinilah letak pentingnya
sebuah gerakan dibangun, yakni untuk secara aktif dan partisipatif berperan
serta dalam proses perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik. Selain itu,
sebuah gerakan yang dibangun juga akan meningkatkan daya kritis mahasiswa
secara keseluruhan dalam melihat berbagai persoalan yang tengah dihadapi
masyarakat, baik dalam konteks lokal, nasional maupun internasional.
Sejarah menunjukkan bahwa selain aktivitas
gerakan yang berupa tuntutan-tuntutan terhadap persoalan internal sebuah
perguruan tinggi, gerakan mahasiswa juga mampu menemukan momentum-momentum
besar yang menyebabkan keterlibatannya dalam perubahan politik nasional menjadi
sangat penting. Setelah gerakan pada masa pra kemerdekaan, gerakan mahasiswa
tahun 1966 yang meruntuhkan Orde Lama dan menopang lahirnya Orde Baru hingga
gerakan penggulingan rejim orde tersebut pada 1998 lalu menunjukkan peran
mahasiswa yang signifikan dalam perubahan sosial politik di tanah air.
Sebenarnya bangsa Indonesia mempunyai tradisi meromantiskan kehidupan kaum muda
dan mahasiswa. Hal ini terlihat dari cara kita memandang sejarah modern bangsa
kita, dengan membaginya dalam periode-periode waktu menurut momentum-momentum
besar yang melibatkan pemuda dan mahasiswa dalam perubahan nasional.
Periodisasi sejarah gerakan mahasiswa dan pemuda Indonesia dalam
angkatan-angkatan 1908, 1928, 1945, 1966, dan seterusnya hingga 1998 juga bisa
diartikan sebagai pengakuan terhadap peran sentral mahasiswa dalam perkembangan
dan perubahan perjalanan bangsa. Namun demikian, ada tidaknya “prestasi
sejarah” tersebut tidak menjadi indikator utama keberhasilan gerakan mahasiswa.
Karena pada dasarnya, gerakan mahasiswa merupakan proses perubahan yang
esoterik. Ia akan terwujud dalam sebuah idealisme dan cita-cita gerakan dalam
menciptakan sebuah masyarakat yang lebih baik dan lebih adil.
Harus diakui, mahasiswa hanyalah salah satu
aktor yang terlibat dalam setiap momentum perubahan yang terjadi. Walaupun
demikian, gerakan mahasiswa dalam setiap kurun sejarah selalu mampu menempatkan
dirinya menjadi aktor utama yang berada di garda depan perubahan. Hal ini yang
membedakan mahasiswa dengan aktor perubahan lainnya, seperti kalangan
cendekiawan, politisi, militer, dan elemen masyarakat lainnya. Keadaan ini
sangat dimungkinkan karena posisi mahasiswa yang dianggap netral dan belum
bersentuhan langsung dengan berbagai kepentingan politik praktis. Selain itu,
sebagai kaum muda yang masih belum mempunyai ketergantungan dan tanggung jawab
ekonomi kepada keluarga serta posisi mereka sebagai calon intelektual, maka
peran sebagai penggagas ide awal, baik di tingkat praksis maupun wacana,
menjadi sangat signifikan. Tetapi, banyak studi menyebutkan bahwa kondisi
psikologis mereka sebagai kaum muda yang dinamis dan anti kemapanan serta rasa
percaya diri yang tinggi sebagai mahasiswa, menjadi faktor penting dalam
menempatkan mahasiswa di garda depan perubahan. Sementara elemen lain dalam
masyarakat sering hanya menjadi kelompok pengikut, setelah perubahan
berlangsung.
Pada tahun 1900 hanya ada lima mahasiswa
Indoensia yang belajar pada pendidikan tinggi di negeri Belanda, tetapi pada
tahun 1908 jumlah mahasiswa Indonesia sudah 23 orang, dan pada tahun inilah
Indische Vereniging dibentuk (John S. Furnivall, 1939). Walaupun dimulai dengan
sederhana, organisasi ini memiliki arti dalam dua hal. Pertama, ia membuka
pintu keanggotaan untuk semua mahasiswa dari Hindia Belanda, tidak seperti Budi
Utomo yang sekalipun didirikan pada tahun yang sama, lambat laun menjadi suatu
organisasi yang beranggotakan orang Jawa saja. Pilihan ke arah ini oleh
Indische Vereniging tidaklah kebetulan, karena pada mulanya beberapa para
pendirinya mengusulkan untuk membuat perkumpulan tersebut menjadi cabang Budi
Utomo di negeri Belanda. Tetapi, walaupun mayoritas mahasiswa Hindia Belanda di
Nederland itu orang Jawa, namun usul itu tidak diterima oleh mereka yang
berasal dari Sumatera, Minahasa, Maluku, dan yang lainnya. Akibatnya, Indische
Vereniging mampu mengatasi hambatan etnosentrisme. Namun demikian, ternyata
masih diperlukan dua dasawarsa bagi para pemimpin nasionalis di Hindia Belanda
untuk menjadi sadar akan persatuan nasional Indonesia.
Kedua, Indische Vereniging bukan hanya sekedar
organisasi persahabatan seperti disebut oleh beberapa penulis mengenai sejarah
Indonesia modern. Pasal dua dari anggaran Dasarnya menetapkan sebagai berikut:
“memperbaiki atau meningkatkan kepentingan bersama orang Hindia di Negeri
Belanda dan memelihara hubungan dengan Hindia Belanda”. Pada bulan Januari 1909
pengadilan lokal di kota Leiden mempersoalkan istilah “orang Hindia” (Indier)
dan Soemitro, sekretaris organisasi pada waktu itu, harus menghadap untuk
memberi penjelasan mengapa perkataan tersebut digunakan dan bukan kata yang
lazim dipakai, yaitu “Inlander” (pribumi), walaupun dengan konotasi yang
diskriminatif (Nagazumi, 1977).
Dalam sejarah perjalanannya, Perhimpunan
Indonesia terbukti mampu mengakomodasikan semua orang Hindia secara egaliter
dan tanpa diskriminatif—berbeda dengan Budi Utomo—menjadi awal bangkitnya
semangat perlawanan mahasiswa Indonesia. Bahkan dari tahun 1923 hingga tahun
1930 organisasi ini merubah dirinya dari organisasi mahasiswa menjadi
organisasi politik, sebuah metamorfosis yang sangat berani waktu itu. Semangat
mahasiswa Indonesia yang tergabung dalam Perhimpunan Indonesia kemudian semakin
mengkristal dalam berbagai gerakan perubahan di tanah air dengan lahirnya
Sumpah Pemuda tahun 1928, dan kemerdekaan Indonesia tahun 1945.
Setelah Indonesia merdeka, peranan mahasiswa
mulai menonjol kembali terutama pada jaman Demokrasi Terpimpin. Pada masa itu
tiga kekuatan, yakni mahasiswa, Presiden Sukarno dan Angkatan Darat merupakan
aktor-aktor yang menentukan. Angkatan Darat sejak mengumumkan SOB pada bulan
Maret 1957, berhasil menciptakan transformasi dan konsolidasi politik internal.
Sehingga secara politik menjadi kekuatan yang diperhitungkan. Hal ini kemudian
diperkuat oleh konsepsi Jenderal Nasution tentang middle way (jalan tengah)
yang kelak menjadi konsep dwi fungsi ABRI (sekarang TNI). Sedangkan Soekarno,
sejak mengumumkan dekrit 5 Juli 1959, posisinya semakin sentral. Partai politik
yang di masa Demokrasi Parlementer menjadi aktor dominan, pada era demokrasi
terpimpin ini semakin tergeser perannya. Soekarno kemudian berhasil menjadi
faktor penyeimbang (balance of power) antara Angkatan Darat dan kekuatan
politik lain, terutama PKI yang jelas berseberangan dengan Angkatan Darat dan
mahasiswa (Sudjana, 1995).
Peran mahasiswa pada era ini tumbuh bersamaan
dengan terbentuknya Badan Kerjasama Pemuda-Militer. Badan inilah yang menjadi
cikal bakal dan merupakan forum pertama bagi gerakan mahasiswa untuk menjadi
partisipan politik atas namanya sendiri. Dibandingkan masa Demokrasi
Parlementer peran seperti ini hampir-hampir mustahil, karena pada saat itu
posisi mahasiswa selalu berada dalam subordinat partai politik dengan ideologi
dan alirannya masing-masing. Kemelut ekonomi dan politik pada tahun 1966 dan
dibarengi dengan usaha kudeta PKI pada tanggal 30 September 1966 (G 30 S)
menyebabkan terjadinya situasi yang chaos. Para pemimpin mahasiswa yang
tergabung dalam KAMI dan KAPPI terus menjalin kerjasama erat dengan militer,
terutama pimpinan Angkatan Darat, yang kemudian menaikkan Jenderal Suharto dan
lahirlah Orde Baru.
Semasa Orde baru berkuasa, tercatat banyak
momentum politik yang melibatkan mahasiswa. Misalnya tuntutan mahasiswa tahun
1974 dengan peristiwa “Malari” dan tahun 1978 yang meminta Presiden Suharto
mundur. Kedua peristiwa tersebut berbuntut pada ditangkap dan diadilinya banyak
aktivis mahasiswa. Sejak itu, pemerintahan Suharto menerapkan langkah jitu
untuk membungkam setiap gerakan mahasiswa dengan melakukan depolitisasi
mahasiswa dan mengintegrasikan kanpus menjadi bagiand dari birokrasi negara.
Kebijakan ini tentu saja berakibat pada penghancuran infrastruktur politik
mahasiswa. Kegiatan mahasiswa kemudian menjadi bagian dan dikontrol oleh
birokrasi kampus (Rektorat) yang merupakan kepanjangan tangan birokrasi negara.
Sejak saat itu, mahasiswa kita tidak terlibat lagi dalam politik kampus dan
nasional, bahkan cenderung merasa dirinya tidak bermakna dalam politik. Dalam
banyak hal berkembang sinisme, apatisme dan bahkan “inertia”. Kondisi ini jelas
sangat memprihatinkan.
Lebih parah lagi, kebijakan deideologisasi
partai politik, ormas dan lembaga kemahasiswaan dengan diterapkannya azas
tunggal Pancasila pada tahun 1985 membuat dinamika gerakan mahasiswa menjadi
lesu. Hal ini tidak saja dialami oleh lembaga-lembaga mahasiswa intra kampus
bentukan Orde Baru, juga dialami oleh organisasi-organisasi ekstra kampus
seperti HMI, PMII, GMNI, PMKRI, GMKI, dan lain-lain. Dalam keadaan seperti ini,
model-model gerakan berubah total dari pola jalanan (demonstrasi) ke pola-pola
yang lebih “aman” melalui kajian-kajian intelektual. Maka muncullah banyak
kelompok-kelompok studi di kampus-kampus sebagai ajang aktualisasi akan
fenomena yang terjadi. Keadaan ini berlangsung hingga akhir tahun 1997-an.
Sekitar awal tahun 1990-an, gerakan mahasiswa
menemukan bentuknya kembali di bawah represifitas negara yang belum surut.
Mungkin banyak orang mengira bahwa gerakan mahasiswa telah mandeg, tetapi
ternyata tidak. Pola-pola “aman” yang diterapkannya dengan sekali-kali
melakukan model jalanan, terutama di beberapa kota besar, ternyata cukup
menjadi investasi menghadapi perubahan politik nasional pada akhir 1997 saat
Indonesia dilanda krisis moneter.
Sekitar awal tahun 1990-an, gerakan mahasiswa
menemukan bentuknya kembali di bawah represifitas negara yang belum surut.
Mungkin banyak orang mengira bahwa gerakan mahasiswa telah mandeg, tetapi
ternyata tidak. Pola-pola “aman” yang diterapkannya dengan sekali-kali
melakukan model jalanan, terutama di beberapa kota besar, ternyata cukup
menjadi investasi menghadapi perubahan politik nasional pada akhir 1997 saat
Indonesia dilanda krisis moneter. Tidak banyak lembaga mahasiswa cukup berani
dan eksis dalam gerakan tersebut.
Menjelang akhir tahun 1997 saat Indonesia
dilanda krisis moneter dan diikuti dengan berbagai krisis lainnya, para aktivis
mahasiswa semakin memantapkan posisinya untuk melakukan gerakan menuntut
Soeharto mundur. Pada saat itu, muncul banyak sekali elemen-elemen aksi
mahasiswa yang bersifat instan dengan mengusung warna ideologi masing-masing.
Namun, satu hal yang mempersatukan mereka adalah keinginan bersama untuk
menjatuhkan rejim totaliter Soeharto. Didukung oleh berbagai demonstrasi besar-besaran
di berbagai kota di tanah air, gerakan ini kemudian mengkristal menjadi gerakan
massa. Sayangnya, gerakan massa rakyat tersebut diwarnai dengan berbagai
kerusuhan, terutama di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya, yang justru
mencoreng citra gerakan mahasiswa itu sendiri. Walaupun demikian, tekanan
perubahan yang dahsyat pada waktu itu memaksa Soeharto mengundurkan diri dari
jabatan presiden pada 21 Mei 1998. Di sinilah mahasiswa bersama elemen
masyarakat lainnya—kecuali militer—berperan sangat sentral dalam menggulingkan
rejim Orde Baru.
Kalau pada tahun 1966 mahasiswa bekerjasama
dengan militer dalam menggulingkan Orde Lama, maka pada tahun 1998 mahasiswa
justru menjadikan militer sebagai musuh bersama (common enemy) yang dianggap
anti reformasi. Demikianlah, momentum perubahan politik nasional pada 1998 yang
terkenal dengan istilah “gerakan reformasi” tidak serta merta membawa perubahan
yang menyeluruh dalam kehidupan masyarakat. Kekuatan anti reformasi Orde baru
masih banyak bercokol di Partai Golkar dan TNI. Dus, setelah empat tahun rejim
Soeharto dijatuhkan, kemudian berturut-turut penguasa berganti dari Habibie,
Abdurrahman Wahid, dan kini Megawati Soekarnoputri, perubahan yang sejak awal
dicita-citakan mahasiswa belum banyak memenuhi harapan. Di sinilah peran
gerakan mahasiswa era selanjutnya harus dimainkan, yakni menuntaskan berbagai
agenda reformasi yang belum berjalan dan melawan segala bentuk penindasan di
negeri ini.
SEJARAH INDONESIA
Sesuai dengan tema kita pada hari ini yakni Hari
Ulang Tahun Republik Indonesia yang ke-67. Saya sebagai admin blog ini akan
sedikit membahas dan menguak tentang asal mula dan sejarah penamaan Negara
"Indonesia". Sejarah dalam penamaan tanah air ini memang tak banyak
orang yang mengetahuinya tapi dengan artikel ini hendaknya dapat menambah ilmu
pengetahuan sobat. Yang dimaksud dengan Indonesia ialah Indonesia dalam
pengertian geografis dan bangsa. Menurut pengertian geogiafis, Indonesia
berarti bagian bumi yang membentang.
Yaitu terbentang dari 95°-141° Bujur Timur, dan
6° Lintang Utara sampai 11 Lintang Selatan. Sedangkan Indonesia dalam arti
bangsa yang secara politik, ekonomi, dan sosial budaya dalam wilayah tersebut.
Istilah Indonesia untuk pertama kalinya
ditemukan oleh seorang ahli etnologi Inggris bernama James Richardson Logan
pada tahun 1850 dalam ilmu bumi. Istilah Indonesia digunakan juga oleh G.W.
Earl dalam bidang etnologi. G.W. Earl menyebut Indonesians dan Melayunesians
bagi penduduk Kepulauan Melayu.
Pada tahun 1862 istilah Indonesia digunakan oleh
orang Inggris bemama Maxwell dalam karangannya berjudul The Island of Indonesia
dalam hubungannya dengan ilmu bumi. Istilah Indonesia semakin populer ketika
seorang ahli etnologi Jerman bernama Adolf Bastian menggunakan istilah
Indonesia pada tahun 1884 dalam hubungannya dengan etnologi.
Kata Indonesia berasal dari kata Latin indus
yang berarti Hindia dan kata Yunani nesos yang berarti pulau, nesioi berarti
pulau-pulau. Dengan demikian, kata Indonesia berarti pulau-pulau Hindia.
Indonesia dikenal pula dengan sebutan Nusantara.
Kata Nusantara berasal dari bahasa Jawa Kuno, yaitu nusa yang berarti pulau dan
antara yang berarti hubungan. Jadi, Nusantara berarti rangkaian pulau-pulau.
Bangsa Indonesia pertama kali menggunakan nama
Indonesia secara politik. Istilah Indonesia untuk pertama kalinya digunakan
oleh Perhimpunan Indonesia, yaitu organisasi yang didirikan oleh
pelajar-pelajar Indonesia di Negeri Belanda pada tahun 1908. Organisasi
tersebut pertama kali bemama Indische Vereeniging. Kemudian nama itu diganti
menjadi Indonesische Vereeniging pada tahun 1922. Selanjutnya pada tahun 1922
juga namanya diganti Perhimpunan Indonesia.
Pada tahun 1928 Kongres Pemuda II di Jakarta
menggunakan istilah Indonesia dalam hubungan dengan persatuan bangsa. Kongres
Pemuda tersebut pada tanggal 28 Oktober
1928 menghasilkan Sumpah Pemuda yang di dalamnya tercantum nama Indonesia.
Istilah Indonesia secara resmi digunakan
sebagai nama negara kita pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Created by Pmii Rayon tarbiyah cab kab bandung
mantaapp!!!
BalasHapus