Awas CCTV

Sabtu, 06 April 2013

Materi Pelatihan Dasar Ke-PMIIan Rayon Tarbiyah Dan Keguruan CAB KAB BANDUNG



Sejarah Gerakan Mahasiswa dan perkembangannya sebenarnya telah lama ada sejak zaman kolonialisasi, pergerakan yang selalu dimotori oleh kaum muda dan terdidik ini tidak banyak berbeda dengan gerakan mahasiswa di belahan dunia lainnya. Semangat pemuda dan kaum terdidik ini selalu meledak-ledak yang selalu menuntut perubahan ke arah yang lebih baik. Lahir dari kondisi obyektif, gerakan mahasiswa selalu sesuai dengan konteks zamannya. Munculnya tradisi diskusi dan kelompok-kelompok (club) diskusi ternyata membawa mereka pada tindakan yang lebih kongkret. Kondisi obyektif masyarakat telah membawa dampak pada terbentuknya club diskusi, organisasi, perkumpulan dan kesatuan-kesatuan yang selanjutnya mewadahi gagasan revolusioner mereka. Nilai lebih organisasi dalam gerakan mahasiswa hanyalah bermakna bahwa di dalam organisasi, mahasiswa ditempa dan dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Pemahaman terhadap masyarakat dan persoalan-persoalannya.
2. Pemihakan pada rakyat.
3. Kecakapan-kecakapan dalam mengolah massa.

Ketiga syarat tersebut mencerminkan:
1. Tujuan dan orientasi gerakan mahasiswa.
2. Metodologi gerakan mahasiswa.
3. Strukturalisasi sumber daya manusia, logistik dan keuangan gerakan mahasiswa, dan
4. Program-program gerakan mahasiswa yang bermakna strategis-taktis.

Dari penjelasan di atas bahwa nilai lebih organisasi dalam gerakan mahasiswa tentunya sangat berbeda dengan organisasi lainnya, karena selain dituntut untuk paham dan mengerti pesoalan-persoalan rakyat. GM (Gerakan Mahasiswa) juga secara tidak langsung mendapat penempaan kecakapan dalam mengolah dan mengorganisir massa.



Perkembangan Gerakan Kaum Terpelajar Era Kolonialisasi.
Tidak ada yang tahu persis kapan tonggak sejarah GM di Indonesia lahir. Namun kaum-kaum terpelajar di STOVIA pada tahun 1915 telah memulai gerakan-gerakan mereka dengan mendirikan TRIKORO-DARMO, yang selanjutnya di ikuti dengan berdirinya organisasi-organisasi kedaerahan seperti jong java, Jong Sumatera, Jong Celebes, Jong Minahasa, dsb. Konsolidasi baru tercipta ditahun 1930 dengan berdirinya IM (Indonesia Moeda). Gerakan-gerakan kaum terpelajar ini bukanlah tanpa halangan dan mengalami masa-masa sulit. Karena mereka harus face to face dengan rejim kolonial Belanda yang merepresif, belum lagi dengan situasi yang terjadi pada waktu itu ketika zaman pergerakan mengalami kelumpuhan setelah pemberontakan PKI tahun 1926/27 serta pemogokan-pemogokan kaum buruh. Namun lumpuhnya kondisi itu semakin menguatkan orientasi mereka untuk anti-kolonial, yang termanifestasi dengan berdirinya studie-studie club alternatif serta perkumpulan pelajar dan pemuda kedaerahan yang masih tersisa sampai pada sumpah pemuda tahun 1928.

Pada masa pendudukan Jepang, banyak organisasi-organisasi pemuda yang dibubarkan dan pemuda-pemudanya dipaksa untuk memasuki organisasi bentukan Jepang yang tak lain untuk kepentingan Jepang dalam perang Asia pasifik. Pemuda-pemuda itu dimasukan dalam organisasi seperti Seinen dan Keibodan (Barisan Pelopor), PETA (Pembela Tanah Air), HEIHO, Putera (Pusat Tenaga Rakyat) dll, tentunya mereka mendapatkan didikan untuk kepentingan fasisme Jepang. Namun dalam masa pendudukan Jepang ini bukan berarti gerakan pemuda hilang sama sekali. Munculnya Gerakan Bawah Tanah (GBT) ternyata banyak juga dilakukan oleh pemuda-pemuda dengan mengadakan rapat-rapat gelap dan aksi penyebaran-penyebaran pamflet berisikan sikap mereka yang anti terhadap fasisme Jepang. Yang menarik disini, gerakan bawah tanah juga dikombinasikan dengan gerakan kooperatif golongan Soekarno.

Gerakan Bawah Tanah dan gerakan legal kooperatif Soekarno pada akhirnya tidak banyak membuahkan hasil sampai kekalahan Jepang pada sekutu. Pertentangan dan konflik yang telah lama antara kaum bawah tanah yang banyak diwakili pemuda dan golongan tua Soekarno memuncak ketika terjadi peristiwa penculikan yang mendesak agar Soekarno segera memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.


Peranan dalam Menumbangkan Rejim Soekarno
Ada yang bilang bahwa gerakan mahasiswa lahir karena momentum. Dimasa demokrasi liberal atau orde lama dibawah kepemimpinan Soekarno mahasiswa sebenarnya kurang memberi pendidikan politik yang berarti bagi mahasiswa setelah masa transisi pada momentum pra dan pasca kemerdekaan. Pada masa itu pemuda dan lassar-laskar pelajar banyak berperan penting dalam perlawanan menghadapi sekutu dan pelucutan senjata tentara Jepang. Dalam demokrasi liberal mahasiswa mempunyai momentum yaitu pemilu ditahun 1955, banyak berdiri organisasi-organisasi mahasiswa yang berafiliasi ke partai politik, seperti Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang berafilsi dibawah PNI, Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (GMS/GERMASOS) dengan PSI, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan Masyumi, Concentrasi Gerakan Mahasiawa Indonesia (CGMI) dengan PKI.

Keterlibatan organisasi kemahasiswaan praktis terseret dalam politik praktis yang banyak mempunyai hubungan-hubungan khusus dengan administrator pemerintah khususnya pihak militer, jadi tidaklah heran jika kolaborasi mereka sangat dekat. Puncaknya adalah ketika aksi-aksi mahasiswa menentang dan menumbangkan rejim Soekarno.

Dalam masa ini orientasi gerakan mahasiswa sudah mulai membaik dalam mengugat hubungan sosial kapitalisme, fasisme, imperialisme, dan sisa-sisa feodalisme dikalahkah oleh kesiapan militer (yang masuk dalam gerakan pemuda mahasiswa dan partai-partai sayap kanan). Jadi Gerakan Mahasiswa periode 66 dapat dikatakan Gerakan Mahasiswa yang tidak sepenuhnya berpihak pada rakyat.


Munculnya Orde Baru
Kolaborasi dengan militer (Angkatan Darat) dalam menggulingkan orde lama dengan harapan orde baru dapat memperbaiki keadaan ternyata salah besar dan sebelum tahun 1970, beberapa aktivis yang sadar akan kekeliruan ini antara lain Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib karena terpisah dari kekuatan rakyat tapi lebih tergabung dalam kekuatan-kekuatan militer pada waktu itu. Terang saja orde baru, di bawah kepemimpinan jenderal Soeharto yang militeristik itu mengeluarkan UU pertama yaitu UU PMA yang notabene menjadi pintu masuk pemodal asing dan saat itu juga Indonesia resmi menjadi Negara yang bermahzab liberalisme/kapitalisme, yang di bawah Soeharto disamarkan dengan kata pembangunanisme (developmentalism).

Namun kesadaran dari para aktivis-aktivis itu ternyata masih belum bisa menjadi pelajaran dan bertindak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh mereka. Gerakan dan aksi-aksi mereka cenderung lebih reaksioner dan selalu mengalami kegagalan, yang disatu sisi orde baru telah menjadi kekuatan yang represif dalam menindak aksi-aksi mahasiswa. Jadi pada periode 74-78 dapat dikatakan Gerakan Mahasiswa mengalami kegagalan karena gerakan tersebut kurang berinteraksi dengan massa rakyat dan terkesan reaksioner.

Pasca peristiwa Malari (Malapetaka Januari), orde baru yang sadar akan potensi mahasiswa dengan gerakannya ditahun 1974 langsung mengeluarkan UU NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus) melalui Menteri Pendidikan waktu itu Moch Daud Jususf. Praktis gerakan-gerakan mahasiswa dan segala aktivitas mendapat pengawasan dan kekangan yang luar biasa dari pemerintah yang tak segan-segan menangkap dan merepresif mereka.

Aksi-aksi bawah tanah dan keluar dari kampus mau tidak mau harus mereka lakukan dengan meninggalkan bangku-bangku kuliah mereka untuk menghindari represifitas aparat yang semakin menjadi-jadi.

Tahun 1980an menjadi titik balik kebangkitan gerakan mahasiswa dalam menggalang lagi budaya diskusi dan kritis menyikapi kebijakan pemerintah yang terkadang sewenang-wenang dan tidak ada yang berani mengkritisi karena tekanan militer yang siap menggasak siapapun yang dianggap mengganggu stabilitas pembangunan. Tawaran belajar ke luar negeri beberapa tokoh-tokoh mahasiswa karena alasan untuk menyiapkan teknokrat-teknokrat yang diharapkan menjadi pendukung paham pembangunan orde baru ternyata membawa dampak yang sebaliknya menyuburkan budaya diskusi, penelitian masyarakat dan aksi-aksi sosial kedermawanan bagi orde baru itu.

Puncaknya adalah aksi turun ke jalan besar-besaran di Ujung Pandang dengan aksi jalan (long march) dan massa yang lumayan besar menentang kebijakan-kebijakan peraturan lalu lintas, judi, dan ekspresi kesulitan ekonomi. Aksi dapat dihentikan dengan membawa korban jiwa hasil dari represitas aparat. Meski dapat dihentikan, Ujung Pandang secara tidak langsung telah memberikan semacam trend baru dengan aksi2 turun ke jalan sebaga bentuk protes mereka walaupun mereka harus berhadapan langsung dengan aparat.
Alhasil dalam kurun tahun 1987 sampai akhir tahun 1997/98, banyak aktivis yang terbunuh dan hilang diculik sampai sekarang.

Momentum krisis ekonomi yang melanda Asia Tenggara, dan pembayaran hutang luar negeri yang jatuh tempo telah membuat perekonomian Indonesia berguncang yang mengakibatkan kondisi tidak stabil. Momentum inilah kemudian menjadikan kontradiksi di rakyat yang secara langsung mengalami kesulitan-kesulitan. Sedangkan gerakan-gerakan mahasiswa yang sebelumnya sudah tergabung dengan kekuatan rakyat semakin hari hari semakin berani dengan aksi-aksi mereka meski terkadang jatuh korban jiwa akibat represifitas penembakan-penembakan yang dilakukan aparat.geliat mahasiswa juga sedang bangkit-bangkitnya hampir di setiap pojok kampus mahasiswa pasti membicarakan keadaan Indonesia, kondisi yang dahulu apatis dan apolitis menjadi berubah secara frontal.

Puncaknya adalah ketika terjadi peristiwa Trisakti yang mengakibatkan tiga mahasiswanya tewas akibat terjangan peluru aparat. Peristiwa itu menimbulkan reaksi yang luar biasa dari rakyat dan berujung dengan kerusuhan di beberapa kota khusunya di Jakarta yang berakhir dengan penjarahan, pembakaran dan pemerkaosan di kota-kota besar. Semakin menemukan titik ternag bahwa Soeharto sebagai public enemy membuat gerakan-gerakan mahasiswa yang sudah terlanjur bergabung dengan potensi-potensi rakyat tak terbendung dan pada tanggal 21 Mei Soeharto tak kuasa untuk bertahan dan akhirnya mundur, yang disambut dengan gegap gempita rakyat dan mahasiswa di seluruh negeri.


Gerakan Mahasiswa Sekarang
Sudah menjadi watak alami dari borjuasi di Indonesia yang pengecut dan selalu menghambakan diri kepada kekuatan modal asing. Hal ini tercermin lewat kebijakan Mega-Hamzah di lanjutkan oleh SBY - JK yang sejak awal menitikberatkan pada pembangunan situasi yang kondusif di dalam negeri untuk menarik investor asing masuk ke Indonesia. Solusi kebijakan ini ternyata pada perkembangannya hanya menambah hutang-hutang baru yang dilimpahkan ke rakyat dan yang terjadi malah krisis berkepanjangan. Salah satu kebijakan dari rejim Mega-Hamzah yang dinilai tidak berpihak pada kepentingan rakyat adalah pencabutan subsidi sehingga menibulkan efek domino yang memicu tingkat kenaikan harga bahan pokok. Selain itu di sektor industri terjadi “pengefesiensian” akibat melambungnya harga BBM, konsekuensinya terjadi rasionalisasi besar-besaran terhadap buruh pabrik. Akibat dari itu adalah meningkatnya jumlah pengangguran dimana-mana hingga nominal 37 Juta. Belum lagi kebijakan fiskal ekspor dan impor yang memicu tingkat inflasi dan menurunnya pertumbuhan ekonomi hingga 3%. Kebijakan Mega-Hamzah yang paling fatal adalah memberikan konsesi yang begitu besar terhadap pihak militer dengan memberikan kedudukan sentral terhadap para pejabat militer yang bertanggungjawab pada kasus-kasus pelanggaran HAM dan demokrasi. Hal inilah yang menjawab mengapa terjadi represifitas yang begitu besar terhadap gerakan saat ini oleh aparat.
Melihat hal ini justru gerakan mahasiswa mengalami kemunduran dan menjadi terpisah dengan basis massa rakyat lainnya. Gerakan mahasiswa malah sibuk dengan isu-isu yang elitis dan cenderung tidak fokus. Hanya beberapa saja dari organ gerakan ekstra kampus yang masih mampu mengkonsolidasikan diri dan terus menerus secara konsisten melakukan tuntutan terhadap rejim. Namun yang terjadi sekali lagi adalah pengulangan sejarah, rejim Mega-Hamzah yang awalnya diharapkan mampu bertindak lebih demokratis dan populis ternyata malah mempraktekkan kebijakan yang sama dengan jaman Orde Baru berkuasa. Terjadi pemberangusan terhadap nilai-nilai demokrasi di gerakan lewat penangkapan aktivis-aktivis demokrasi, terjadi pengilusian terhadap gerakan mahasiswa oleh rejim dengan mengkampanyekan gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral semata. Artinya gerakan mahasiswa cukup mengkritisi saja problema yang ada bukannya menjadi kelas transisional terhadap kelas yang lain untuk memberikan transformasi kesadaran ke hal yang lebih progresif dan menjelaskan kepada massa akan perlunya rakyat mengambil alih pemerintahan sebagaimana selalu dikampanyekan oleh organ-organ pro demokrasi

Keberhasilan rejim SBY-Boediono merebut kembali setelah kemenangan pada 2004 menjadikan gerakan mahasiswa bahwa SBY sebagai public enemy rakyat dan mahasiswa. Kebijakan serta cara-cara militeristik gaya orde baru ternyata dihidupkan lagi, serta paham neoliberalisme yang kental terkesan kuat oleh rejim ini. Tidak salah jika SBY mendapat predikat sebagai kebangkitan ode baru jilid II. Namun tipu muslihat dengan pergeseran tata cara berpolitik rupanya (politik pencitraan) banyak menjebak rakyat terhadap kesan SBY. Sehingga dengan mudah SBY selalu mampu lolos dari pengamatan rakyat.

Kondisi ini ditambah dengan semakin apolitis dan apatisnya mahasiswa terhadap persoalan-persoalan nasional, sedangkan satu sisi banyak aktivis yang sudah jinak dan lebih suka merapat ke lingakaran rejim SBY. Membuat perjuangan semakin berat.

Gerakan mahasiswa menjadi gagap dalam merespon keadaan krisis ini berbeda dengan sektor massa yang lain; Buruh, Tani, Kaum Miskin Kota yang tanpa dukungan dari mahasiswa-pun ternyata mampu melakukan aksi dalam skala besar. Disinilah peran pelopor gerakan mahasiswa untuk menyatukan kekuatan-kekuatan tersebut menjadi hal yang urgen.

Rakyat yang sedang resah membutuhkan sebuah kepeloporan dalam hal kesadaran disini. Memajukan kesadaran ekonomis massa hingga menuju tataran politis adalah konkretan kepeloporan yang dimaksud.
Sejarah gerakan mahasiswa
Sejenak teringat waktu menjalani study sebagai mahasiswa di salah satu Universitas swasta di Surabaya angkatan tahun 2001, momentum-momentum penting tidak luput dari analisis kita, tidak luput dari peranan kawan-kawan waktu itu, dulu teman-teman aktivis gerakan seangkatanku ketika diskusi selalu melontarkan kalimat ‘kita adalah agen perubahan, kita yang selalu membela rakyat kecil yang tertindas’. Hali ini tidak luput dari peranan perjuangan dan kesejarahan kawan-kawan gerakan semenjak negeri ini belum merdeka. Kita akan melihat kembali kesejarahan dari generasi ke generasi gerakan mahasiswa di Indonesia.

Memang keberadaan mahasiswa di tanah air, terutama sejak awal abad ke dua puluh, dilihat tidak saja dari segi eksistensi mereka sebagai sebuah kelas sosial terpelajar yang akan mengisi peran-peran strategis dalam masyarakat. Tetapi, lebih dari itu mereka telah terlibat aktif dalam gerakan perubahan jauh sebelum Indonesia merdeka. Sebagai anak bangsa yang secara sosial mendapat kesempatan lebih dibandingkan dengan saudaranya yang lain, mahasiswa kemudian menjadi penggerak utama dalam banyak dimensi perubahan sosial politik di tanah air pada masanya. Aktivitas mahasiswa yang merambah wilayah yang lebih luas dari sekedar belajar di perguruan tinggi inilah yang kemudian populer dengan sebutan “gerakan mahasiswa”.

Dengan demikian, gerakan mahasiswa merupakan sebuah proses perluasan peran mahasiswa dalam kehidupan bermasyarakat. Adanya gerakan mahasiswa dengan perannya yang signifikan dalam perubahan secara langsung akan membongkar mitos lama di masyarakat, bahwa mahasiswa selama ini dianggap sebagai bagian dari civitas akademika yang berada di menara gading, jauh dari persoalan yang dihadapi masyarakatnya. Disinilah letak pentingnya sebuah gerakan dibangun, yakni untuk secara aktif dan partisipatif berperan serta dalam proses perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik. Selain itu, sebuah gerakan yang dibangun juga akan meningkatkan daya kritis mahasiswa secara keseluruhan dalam melihat berbagai persoalan yang tengah dihadapi masyarakat, baik dalam konteks lokal, nasional maupun internasional.

Sejarah menunjukkan bahwa selain aktivitas gerakan yang berupa tuntutan-tuntutan terhadap persoalan internal sebuah perguruan tinggi, gerakan mahasiswa juga mampu menemukan momentum-momentum besar yang menyebabkan keterlibatannya dalam perubahan politik nasional menjadi sangat penting. Setelah gerakan pada masa pra kemerdekaan, gerakan mahasiswa tahun 1966 yang meruntuhkan Orde Lama dan menopang lahirnya Orde Baru hingga gerakan penggulingan rejim orde tersebut pada 1998 lalu menunjukkan peran mahasiswa yang signifikan dalam perubahan sosial politik di tanah air. Sebenarnya bangsa Indonesia mempunyai tradisi meromantiskan kehidupan kaum muda dan mahasiswa. Hal ini terlihat dari cara kita memandang sejarah modern bangsa kita, dengan membaginya dalam periode-periode waktu menurut momentum-momentum besar yang melibatkan pemuda dan mahasiswa dalam perubahan nasional. Periodisasi sejarah gerakan mahasiswa dan pemuda Indonesia dalam angkatan-angkatan 1908, 1928, 1945, 1966, dan seterusnya hingga 1998 juga bisa diartikan sebagai pengakuan terhadap peran sentral mahasiswa dalam perkembangan dan perubahan perjalanan bangsa. Namun demikian, ada tidaknya “prestasi sejarah” tersebut tidak menjadi indikator utama keberhasilan gerakan mahasiswa. Karena pada dasarnya, gerakan mahasiswa merupakan proses perubahan yang esoterik. Ia akan terwujud dalam sebuah idealisme dan cita-cita gerakan dalam menciptakan sebuah masyarakat yang lebih baik dan lebih adil.

Harus diakui, mahasiswa hanyalah salah satu aktor yang terlibat dalam setiap momentum perubahan yang terjadi. Walaupun demikian, gerakan mahasiswa dalam setiap kurun sejarah selalu mampu menempatkan dirinya menjadi aktor utama yang berada di garda depan perubahan. Hal ini yang membedakan mahasiswa dengan aktor perubahan lainnya, seperti kalangan cendekiawan, politisi, militer, dan elemen masyarakat lainnya. Keadaan ini sangat dimungkinkan karena posisi mahasiswa yang dianggap netral dan belum bersentuhan langsung dengan berbagai kepentingan politik praktis. Selain itu, sebagai kaum muda yang masih belum mempunyai ketergantungan dan tanggung jawab ekonomi kepada keluarga serta posisi mereka sebagai calon intelektual, maka peran sebagai penggagas ide awal, baik di tingkat praksis maupun wacana, menjadi sangat signifikan. Tetapi, banyak studi menyebutkan bahwa kondisi psikologis mereka sebagai kaum muda yang dinamis dan anti kemapanan serta rasa percaya diri yang tinggi sebagai mahasiswa, menjadi faktor penting dalam menempatkan mahasiswa di garda depan perubahan. Sementara elemen lain dalam masyarakat sering hanya menjadi kelompok pengikut, setelah perubahan berlangsung.

Pada tahun 1900 hanya ada lima mahasiswa Indoensia yang belajar pada pendidikan tinggi di negeri Belanda, tetapi pada tahun 1908 jumlah mahasiswa Indonesia sudah 23 orang, dan pada tahun inilah Indische Vereniging dibentuk (John S. Furnivall, 1939). Walaupun dimulai dengan sederhana, organisasi ini memiliki arti dalam dua hal. Pertama, ia membuka pintu keanggotaan untuk semua mahasiswa dari Hindia Belanda, tidak seperti Budi Utomo yang sekalipun didirikan pada tahun yang sama, lambat laun menjadi suatu organisasi yang beranggotakan orang Jawa saja. Pilihan ke arah ini oleh Indische Vereniging tidaklah kebetulan, karena pada mulanya beberapa para pendirinya mengusulkan untuk membuat perkumpulan tersebut menjadi cabang Budi Utomo di negeri Belanda. Tetapi, walaupun mayoritas mahasiswa Hindia Belanda di Nederland itu orang Jawa, namun usul itu tidak diterima oleh mereka yang berasal dari Sumatera, Minahasa, Maluku, dan yang lainnya. Akibatnya, Indische Vereniging mampu mengatasi hambatan etnosentrisme. Namun demikian, ternyata masih diperlukan dua dasawarsa bagi para pemimpin nasionalis di Hindia Belanda untuk menjadi sadar akan persatuan nasional Indonesia.

Kedua, Indische Vereniging bukan hanya sekedar organisasi persahabatan seperti disebut oleh beberapa penulis mengenai sejarah Indonesia modern. Pasal dua dari anggaran Dasarnya menetapkan sebagai berikut: “memperbaiki atau meningkatkan kepentingan bersama orang Hindia di Negeri Belanda dan memelihara hubungan dengan Hindia Belanda”. Pada bulan Januari 1909 pengadilan lokal di kota Leiden mempersoalkan istilah “orang Hindia” (Indier) dan Soemitro, sekretaris organisasi pada waktu itu, harus menghadap untuk memberi penjelasan mengapa perkataan tersebut digunakan dan bukan kata yang lazim dipakai, yaitu “Inlander” (pribumi), walaupun dengan konotasi yang diskriminatif (Nagazumi, 1977).

Dalam sejarah perjalanannya, Perhimpunan Indonesia terbukti mampu mengakomodasikan semua orang Hindia secara egaliter dan tanpa diskriminatif—berbeda dengan Budi Utomo—menjadi awal bangkitnya semangat perlawanan mahasiswa Indonesia. Bahkan dari tahun 1923 hingga tahun 1930 organisasi ini merubah dirinya dari organisasi mahasiswa menjadi organisasi politik, sebuah metamorfosis yang sangat berani waktu itu. Semangat mahasiswa Indonesia yang tergabung dalam Perhimpunan Indonesia kemudian semakin mengkristal dalam berbagai gerakan perubahan di tanah air dengan lahirnya Sumpah Pemuda tahun 1928, dan kemerdekaan Indonesia tahun 1945.

Setelah Indonesia merdeka, peranan mahasiswa mulai menonjol kembali terutama pada jaman Demokrasi Terpimpin. Pada masa itu tiga kekuatan, yakni mahasiswa, Presiden Sukarno dan Angkatan Darat merupakan aktor-aktor yang menentukan. Angkatan Darat sejak mengumumkan SOB pada bulan Maret 1957, berhasil menciptakan transformasi dan konsolidasi politik internal. Sehingga secara politik menjadi kekuatan yang diperhitungkan. Hal ini kemudian diperkuat oleh konsepsi Jenderal Nasution tentang middle way (jalan tengah) yang kelak menjadi konsep dwi fungsi ABRI (sekarang TNI). Sedangkan Soekarno, sejak mengumumkan dekrit 5 Juli 1959, posisinya semakin sentral. Partai politik yang di masa Demokrasi Parlementer menjadi aktor dominan, pada era demokrasi terpimpin ini semakin tergeser perannya. Soekarno kemudian berhasil menjadi faktor penyeimbang (balance of power) antara Angkatan Darat dan kekuatan politik lain, terutama PKI yang jelas berseberangan dengan Angkatan Darat dan mahasiswa (Sudjana, 1995).

Peran mahasiswa pada era ini tumbuh bersamaan dengan terbentuknya Badan Kerjasama Pemuda-Militer. Badan inilah yang menjadi cikal bakal dan merupakan forum pertama bagi gerakan mahasiswa untuk menjadi partisipan politik atas namanya sendiri. Dibandingkan masa Demokrasi Parlementer peran seperti ini hampir-hampir mustahil, karena pada saat itu posisi mahasiswa selalu berada dalam subordinat partai politik dengan ideologi dan alirannya masing-masing. Kemelut ekonomi dan politik pada tahun 1966 dan dibarengi dengan usaha kudeta PKI pada tanggal 30 September 1966 (G 30 S) menyebabkan terjadinya situasi yang chaos. Para pemimpin mahasiswa yang tergabung dalam KAMI dan KAPPI terus menjalin kerjasama erat dengan militer, terutama pimpinan Angkatan Darat, yang kemudian menaikkan Jenderal Suharto dan lahirlah Orde Baru.

Semasa Orde baru berkuasa, tercatat banyak momentum politik yang melibatkan mahasiswa. Misalnya tuntutan mahasiswa tahun 1974 dengan peristiwa “Malari” dan tahun 1978 yang meminta Presiden Suharto mundur. Kedua peristiwa tersebut berbuntut pada ditangkap dan diadilinya banyak aktivis mahasiswa. Sejak itu, pemerintahan Suharto menerapkan langkah jitu untuk membungkam setiap gerakan mahasiswa dengan melakukan depolitisasi mahasiswa dan mengintegrasikan kanpus menjadi bagiand dari birokrasi negara. Kebijakan ini tentu saja berakibat pada penghancuran infrastruktur politik mahasiswa. Kegiatan mahasiswa kemudian menjadi bagian dan dikontrol oleh birokrasi kampus (Rektorat) yang merupakan kepanjangan tangan birokrasi negara. Sejak saat itu, mahasiswa kita tidak terlibat lagi dalam politik kampus dan nasional, bahkan cenderung merasa dirinya tidak bermakna dalam politik. Dalam banyak hal berkembang sinisme, apatisme dan bahkan “inertia”. Kondisi ini jelas sangat memprihatinkan.

Lebih parah lagi, kebijakan deideologisasi partai politik, ormas dan lembaga kemahasiswaan dengan diterapkannya azas tunggal Pancasila pada tahun 1985 membuat dinamika gerakan mahasiswa menjadi lesu. Hal ini tidak saja dialami oleh lembaga-lembaga mahasiswa intra kampus bentukan Orde Baru, juga dialami oleh organisasi-organisasi ekstra kampus seperti HMI, PMII, GMNI, PMKRI, GMKI, dan lain-lain. Dalam keadaan seperti ini, model-model gerakan berubah total dari pola jalanan (demonstrasi) ke pola-pola yang lebih “aman” melalui kajian-kajian intelektual. Maka muncullah banyak kelompok-kelompok studi di kampus-kampus sebagai ajang aktualisasi akan fenomena yang terjadi. Keadaan ini berlangsung hingga akhir tahun 1997-an.

Sekitar awal tahun 1990-an, gerakan mahasiswa menemukan bentuknya kembali di bawah represifitas negara yang belum surut. Mungkin banyak orang mengira bahwa gerakan mahasiswa telah mandeg, tetapi ternyata tidak. Pola-pola “aman” yang diterapkannya dengan sekali-kali melakukan model jalanan, terutama di beberapa kota besar, ternyata cukup menjadi investasi menghadapi perubahan politik nasional pada akhir 1997 saat Indonesia dilanda krisis moneter.

Sekitar awal tahun 1990-an, gerakan mahasiswa menemukan bentuknya kembali di bawah represifitas negara yang belum surut. Mungkin banyak orang mengira bahwa gerakan mahasiswa telah mandeg, tetapi ternyata tidak. Pola-pola “aman” yang diterapkannya dengan sekali-kali melakukan model jalanan, terutama di beberapa kota besar, ternyata cukup menjadi investasi menghadapi perubahan politik nasional pada akhir 1997 saat Indonesia dilanda krisis moneter. Tidak banyak lembaga mahasiswa cukup berani dan eksis dalam gerakan tersebut.

Menjelang akhir tahun 1997 saat Indonesia dilanda krisis moneter dan diikuti dengan berbagai krisis lainnya, para aktivis mahasiswa semakin memantapkan posisinya untuk melakukan gerakan menuntut Soeharto mundur. Pada saat itu, muncul banyak sekali elemen-elemen aksi mahasiswa yang bersifat instan dengan mengusung warna ideologi masing-masing. Namun, satu hal yang mempersatukan mereka adalah keinginan bersama untuk menjatuhkan rejim totaliter Soeharto. Didukung oleh berbagai demonstrasi besar-besaran di berbagai kota di tanah air, gerakan ini kemudian mengkristal menjadi gerakan massa. Sayangnya, gerakan massa rakyat tersebut diwarnai dengan berbagai kerusuhan, terutama di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya, yang justru mencoreng citra gerakan mahasiswa itu sendiri. Walaupun demikian, tekanan perubahan yang dahsyat pada waktu itu memaksa Soeharto mengundurkan diri dari jabatan presiden pada 21 Mei 1998. Di sinilah mahasiswa bersama elemen masyarakat lainnya—kecuali militer—berperan sangat sentral dalam menggulingkan rejim Orde Baru.

Kalau pada tahun 1966 mahasiswa bekerjasama dengan militer dalam menggulingkan Orde Lama, maka pada tahun 1998 mahasiswa justru menjadikan militer sebagai musuh bersama (common enemy) yang dianggap anti reformasi. Demikianlah, momentum perubahan politik nasional pada 1998 yang terkenal dengan istilah “gerakan reformasi” tidak serta merta membawa perubahan yang menyeluruh dalam kehidupan masyarakat. Kekuatan anti reformasi Orde baru masih banyak bercokol di Partai Golkar dan TNI. Dus, setelah empat tahun rejim Soeharto dijatuhkan, kemudian berturut-turut penguasa berganti dari Habibie, Abdurrahman Wahid, dan kini Megawati Soekarnoputri, perubahan yang sejak awal dicita-citakan mahasiswa belum banyak memenuhi harapan. Di sinilah peran gerakan mahasiswa era selanjutnya harus dimainkan, yakni menuntaskan berbagai agenda reformasi yang belum berjalan dan melawan segala bentuk penindasan di negeri ini.

SEJARAH INDONESIA
Sesuai dengan tema kita pada hari ini yakni Hari Ulang Tahun Republik Indonesia yang ke-67. Saya sebagai admin blog ini akan sedikit membahas dan menguak tentang asal mula dan sejarah penamaan Negara "Indonesia". Sejarah dalam penamaan tanah air ini memang tak banyak orang yang mengetahuinya tapi dengan artikel ini hendaknya dapat menambah ilmu pengetahuan sobat. Yang dimaksud dengan Indonesia ialah Indonesia dalam pengertian geografis dan bangsa. Menurut pengertian geogiafis, Indonesia berarti bagian bumi yang membentang.
Yaitu terbentang dari 95°-141° Bujur Timur, dan 6° Lintang Utara sampai 11 Lintang Selatan. Sedangkan Indonesia dalam arti bangsa yang secara politik, ekonomi, dan sosial budaya dalam wilayah tersebut.

Istilah Indonesia untuk pertama kalinya ditemukan oleh seorang ahli etnologi Inggris bernama James Richardson Logan pada tahun 1850 dalam ilmu bumi. Istilah Indonesia digunakan juga oleh G.W. Earl dalam bidang etnologi. G.W. Earl menyebut Indonesians dan Melayunesians bagi penduduk Kepulauan Melayu.

Pada tahun 1862 istilah Indonesia digunakan oleh orang Inggris bemama Maxwell dalam karangannya berjudul The Island of Indonesia dalam hubungannya dengan ilmu bumi. Istilah Indonesia semakin populer ketika seorang ahli etnologi Jerman bernama Adolf Bastian menggunakan istilah Indonesia pada tahun 1884 dalam hubungannya dengan etnologi.

Kata Indonesia berasal dari kata Latin indus yang berarti Hindia dan kata Yunani nesos yang berarti pulau, nesioi berarti pulau-pulau. Dengan demikian, kata Indonesia berarti pulau-pulau Hindia.

Indonesia dikenal pula dengan sebutan Nusantara. Kata Nusantara berasal dari bahasa Jawa Kuno, yaitu nusa yang berarti pulau dan antara yang berarti hubungan. Jadi, Nusantara berarti rangkaian pulau-pulau.

Bangsa Indonesia pertama kali menggunakan nama Indonesia secara politik. Istilah Indonesia untuk pertama kalinya digunakan oleh Perhimpunan Indonesia, yaitu organisasi yang didirikan oleh pelajar-pelajar Indonesia di Negeri Belanda pada tahun 1908. Organisasi tersebut pertama kali bemama Indische Vereeniging. Kemudian nama itu diganti menjadi Indonesische Vereeniging pada tahun 1922. Selanjutnya pada tahun 1922 juga namanya diganti Perhimpunan Indonesia.

Pada tahun 1928 Kongres Pemuda II di Jakarta menggunakan istilah Indonesia dalam hubungan dengan persatuan bangsa. Kongres Pemuda tersebut pada  tanggal 28 Oktober 1928 menghasilkan Sumpah Pemuda yang di dalamnya tercantum nama Indonesia. Istilah Indonesia secara resmi  digunakan sebagai nama negara kita pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan  proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Created by Pmii Rayon tarbiyah cab kab bandung

1 komentar:

Berikan Komentar Sahabat